Etika bisnis memiliki prinsip-prinsip yang harus ditempuh perusahaan oleh
perusahaan untuk mencapai tujuannya dan harus dijadikan pedoman agar memiliki
standar baku yang mencegah timbulnya ketimpangan dalam memandang etika moral
sebagai standar kerja atau operasi perusahaan. Muslich (1998: 31-33)
mengemukakan prinsip-prinsip etika bisnis sebagai berikut:
- Prinsip otonomi
- Prinsip kejujuran
- Prinsip tidak berniat jahat
- Prinsip keadilan
Perusahaan harus bersikap adil kepada pihak-pihak yang terkait
dengan sistem bisnis. Contohnya, upah yang adil kepada karywan sesuai
kontribusinya, pelayanan yang sama kepada konsumen, dan lain-lain,menuntut agar
setiap orang diperlakukan secara sama sesuai dengan aturan yang adil dan sesuai
kriteria yang rasional obyektif, serta dapat dipertanggung jawabkan.
- Prinsip hormat pada diri sendiri
Bisnis Sebagai Profesi
yang Luhur
Pada dewasa ini bisnis
sudah dianggap sebagai suatu profesi. Bahkan bisnis seakan-akan menjadi sebutan
profesi, tetapi sekaligus juga menyebabkan pengertian profesi menjadi suatu
bahasa yang merancu atau kehilangan pengertian dasarnya. Itu terutama karena
bisnis modern mensyaratkan dan menuntut para pelaku bisnis untuk menjadi
orang yang profesional.
Pada persaingan di
dunia bisnis yang ketat saat ini, menuntut dan menyadarkan para pelaku bisnis
untuk menjadi orang yang profesional. Sehingga profesionalisme menjadi suatu
keharusan dalam melakukan bisnis. Hanya saja sering kali sikap profesional dan
profesionalisme yang dimaksudkan dalam dunia bisnis hanya terbatas pada
kemampuan teknis menyangkut keahlian dan keterampilan yang terkait dengan
bisnis : Manajemen, produksi, pemasaran, keuangan, personalia dan seterusnya.
Hal ini terutama dikaitkan dengan prinsip efisiensi demi mendatangkan
keuntungan yang maksimal.
Yang sering diabaikan
dan dilupakan banyak mendapat perhatian adalah profesionalisme dan sikap
profesional juga mengandung pengertian komitmen pribadi dan moral pada profesi
tersebut dan pada kepentingan pihak-pihak yang saling terkait. Orang yang
profesional selalu berarti orang yang memiliki komitmen pribadi yang tinggi,
yang serius menjalankan pekerjaannya, yang bertanggung jawab atas pekerjaannya
agar tidak sampai merugikan pihak lainnya. Orang yang profesional adalah
orang yang menjalankan pekerjaannya secara tuntas dengan hasil dan mutu yang
sangat baik karena komitmen dan tanggung jawab moral pribadinya.
Itu sebabnya mengapa
bisnis hampir tidak pernah atau belum dianggap sebagai suatu profesi yang
luhur. Bahkan sebaliknya seakan ada jurang yang memisahkan dunia bisnis dengan
etika. Tentu saja ini terutama disebabkan oleh suatu pekerjaan kotor, tipu
menipu, penuh kecurangan dan etika buruk. Bahkan tidak hanya masyarakat,
melainkan sering orang bisnis menganggap dirinya bahwa memang pekerjaannya
adalah tipu menipu, curang, membohongi orang lain dan sebagainya. Sehingga
tidak heran bisnis mendapat predikat jelek, sebagai kerjanya orang-orang kotor.
Kesan dan sikap
masyarakat tentang bisnis serta bisnis sendiri, seperti itu disebabkan oleh
ulah orang-orang atau lebih tepatnya beberapa orang bisnis yang memperlihatkan
citra yang begitu negatif di masyarakat. Beberapa orang bisnis yang hanya ingin
mengejar keuntungan dengan menawarkan barang dan jasa dengan mutu rendah, yang
tidak memperdulikan pelayanan terhadap konsumennya bahkan tidak menghiraukan
keluhan konsumennya yang tidak sesuai dengan iklan ataupun janji terhadap
barang atau jasa yang ditawarkannya. Sehingga hal ini membuat citra negative
bagi bisnis tersebut.
Berdasarkan pengertian
profesi yang menekankan keahlian dan keterampilan yang tinggi serta
komitmen moral yang mendalam, maka jelas kiranya bahwa pekerjaan yang kotor
tidak akan disebut sebagai profesi. Oleh karenanya bisnis itu bukanlah
merupakan profesi, jika bisnis dianggap sebagai sebagai pekerjaan kotor,
kendati istilah profesi, profesional, dan profesionalisme sering diucapkan
dalam kaitan kegiatan bisnis.
Namun di pihak lain tidak dapat disangkal bahwa
ada hanya pembisnis dan juga perusahaan yang sangat menghayati pekerjaan dan
kegiatan bisnisnya sebagai sebuah profesi dalam pengertiannya sebagaimana kita
ketahui bersama. Mereka tidak hanya memiliki keahlian dan keterampilan yang
tinggi tetapi punya komitmen moral yang mendalam. Oleh karena itu bukan tidak
mungkin bahwa bisnis pun dapat menjadi sebuah profesi dalam pengertiannya
yang sebenar-benarnya, bahkan menjadi sebuah profesi yang luhur.
Untuk melihat tepat
tidaknya kata profesi dipakai juga untuk dunia bisnis dan untuk melihat
apakah bisnis dapat menjadi profesi yang luhur, mari kita tinjau dua pandangan
dan penghayatan yang berbeda mengenai pekerjaan dan kegiatan bisnis yang dianut
oleh para pelaku bisnis.
1. Pandangan
Praktis Realistis
Pandangan ini terutama
bertumpu pada kenyataan (pada umumnya) yang diamati berlaku dalam dunia bisnis
dewasa ini. Pandangan ini berdasarkan pada apa yang umumnya dilakukan dalam
dunia bisnis dewasa ini. Pandangan ini melihat bisnis sebagai suatu kegiatan di
antara manusia yang menyangkut memproduksi, menjual dan membeli barang dan jasa
untuk mendapatkan keuntungan.
Dalam pandangan ini
ditegaskan bahwa secara jelas tujuan utama bisnis adalah mencari keuntungan.
Bisnis adalah suatu kegiatan profit making. Dasar pemikirannya adalah orang
yang terjun ke dalam dunia bisnis tidak punya keinginan dan tujuan lain ingin
mendapatkan keuntungan. Kegiatan bisnis adalah kegiatan ekonomis dan bukan
kegaitan sosial. Sehingga keuntungan tersebut untuk menunjang kegiatan bisnis,
tanpa keuntungan bisnis tidak dapat berjalan.
Pandangan ini dianggap
sebagai pandangan ekonomi klasik (Adam Smith) dan ekonomi neo-klasik (Milton
Friedman). Adam Smith berpendapat bahwa pemilik modal baru dapat keuntungan
untuk bisa merangsang menanamkan modalnya dan itu berarti tidak ada kegiatan ekonomi
produktif sama sekali. Pada akhirnya tidak ada pekerja yang dipekerjakan dan
konsumen tidak akan mendapatkan barang kebutuhannya.
Asumsi Adam
Smith adalah dalam masyarakat modern telah terjadi pembagian kerja dimana
setiap orang tidak bisa lagi mengerjakan segala sesuatunya sekaligus dan bisa
memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Manusia modern harus memenuhi kebutuhan
hidupnya dengan menukarkan barang produksinya dengan barang produksi milik
orang lain. Dalam perkembangan zaman ada yang berhasil mengumpulkan modal dan
memperbesar usahanya sementara yang lainnya hanya bisa menjadi pekerja orang
lain. Maka terjadi kelas sosial.
Kedua, bahwa semua
orang tanpa kecuali mempunyai kecenderungan dasar untuk membuat kondisi
hidupnya menjadi jauh lebih baik. Dalam keadaan sosial yang telah terbagi
menjadi kelas-kelas sosial, jalan terbaik untuk tetap mempertahankan modalnya
dalam kegiatan produktif yang sangat berguna bagi kegiatan ekonomi nasional dan
ekonomi dunia termasuk kelas pekerja. Hanya dengan membuat pemilik modal
menanamkan modalnya, maka banyak orang bisa memenuhi kebutuhan hidupnya.
Satu-satunya secara kuantitatif melalui kegiatan produktif keadaan modalnya
serta moral dan sosial baik, antara lain karena punya dampak yang berguna bagi
orang banyak. Karena itu secara moral tidak salah jika pelaku bisnis itu
mencari
keuntungan.
Dalam kaitan dengan
ini, tidak mengherankan bahwa Milton Friedman mengatakan bahwa omong
kosong jika bisnis tidak mencari keuntungan. Ia melihat bahwa dalam kenyataanya
hanya keuntunganlah yang menjadi satu-satunya motivasi atau daya tarik bagi
pelaku bisnis. Menurut Friedman, mencari keuntungan bukan hal yang jelek,
karena semua orang memasuki bisnis selalu dengan punya satu motivasi dasar
yaitu mencari keuntungan. Artinya kalau semua orang masuk dalam dunia bisnis
dengan satu motivasi dasar untuk mencari keuntugan, maka sah dan etis jika saya
pun mencari keuntungan dalam bisnis.
2. Pandangan
Ideal
Pandangan ideal ini
dalam kenyataanya masih merupakan suatu hal yang ideal dalam dunia bisnis.
Harus diakui bahwa sebagian pandangan yang ideal pandangan ini baru dianut oleh
sebagian orang yang dipengaruhi oleh idealisme tertentu nilai tertentu yang dianutnya.
Menurut pandangan ini
bisnis tidak lain adalah suatu kegiatan di antara manusia yang menyangkut
produksi, menjual dan membeli barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat. Pandangan ini tidak menolak bahwa keuntungan adalah tujuan utama
bisnis. Tapi keuntungan bisnis tidak dapat bertahan. Namun keuntungan hanya
dilihat sebagai konsekuensi logis dalam kegiatan bisnis, yaitu bahwa dengan
memenuhi kebutuhan masyarakat secara baik, keuntungan akan datang dengan
sendirinya. Masyarakat akan merasa terkait membeli barang dan jasa yang
ditawarkan oleh perusahaan yang memenuhi kebutuhan mereka dengan mutu dan harga
yang baik itu.
Dasar pemikirannya
adalah pertukaran timbal balik secara fair diantara pihak-pihak yang
terlibat. Maka yang mau di tegakkan dalam bisnis yang menganut pandangan ini
adalah keadilan komutatif, khususnya keadilan tukar atau pertukaran dagang yang
fair. Sesungguhnya pandangan ini pun bersumber dari ekonomi klasiknya Adam
Smith. Menurut Adam Smith, pertukaran dagang terjadi karena satu orang
memproduksi lebih banyak barang tertentu, sementara ia sendiri membutuhkan
barang lain yang tidak dapat memproduksinya sendiri. Jadi sesungguhnya kegiatan
bisnis bisa terjadi karena keinginan untuk saling memenuhi kebutuhan hidup
masing-masing. Hal itu berarti kegiatan bisnis merupakan perwujudan hakekat
sosial manusia saling membutuhkan satu dengan lainnya. Dengan kata lain
keuntungan bukan merupakan tujuan dalam melakukan kegiatan bisnis. Walaupun
menurut Adam Smith pertukaran dagang didasarkan atas kepentingan pribadi
masing-masing yang secara moral baik, pertukaran dagang atau bisnis merupakan
upaya saling memenuhi kebutuhan masing-masing, yang hanya akan paling mungkin
dipenuhi masing-masing orang diperhatikan.
Pandangan ini juga
telah dihayati dan dipraktekkan dalam kegiatan bisnis oleh beberapa orang
pengusaha, bahkan menjadi etos bisnis dari perusahaan yang mereka dirikan.
Sebagai contoh :Matsushita, berpendapat tujuan bisnis sebenarnya
bukanlah mencari keuntungan melainkan melayani kebutuhan masyarakat, Sedangkan
keuntungan tidak lain hanyalah simbol kepercayaan masyarakat atas kegiatan
bisnis suatu perusahaan. Hal itu berarti bahwa karena masyarakat merasa
kebutuhan hidupnya dipenuhi, secara baik mereka akan menyukai produk perusahaan
tersebut yang memang dibutuhkannya, tapi sekaligus juga puas dengan produk
tersebut. Sehingga mereka akan tetap membeli produk tersebut. Dari situ akan
mengalir keuntungan. Dengan demikian yang pertama-tama menjadi fokus perhatian
dalam bisnis bukanlah mencari keuntungan, melainkan apa kebutuhan masyarakat
dan bagaimana melayani kebutuhan masyarakat itu secara baik dan dari sana
akan mendapatkan keuntungan.
Pandangan Matsushita, sebenarnya
dalam arti tertentu tidak sangat idealisitis, karena lahir dari visi bisnis
yang kemudian diperkuat dengan dukungan oleh pengalamannya dalam mengelola
bisnisnya. Ternyata perusahaan dan bisnisnya berhasil bertahan lama, tanpa
perlu harus menggunakan segala cara demi mencapai keuntungan. Demikian pula
pandangan seperti itu diakui dan dibuktikan kebenarannya oleh pengalaman banyak
perusahanan yang juga mengembangkan nilai-nilai budaya perusahaan tertentu atau
etos bisnis bagi perusahaan tersebut.
Dengan melihat kedua
pandangan yang berbeda di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa citra jelek dunia
sedikit banyak disebabkan oleh pandangan pertama sekedar bisnis mencari
keuntungan. Tentu saja, pada dirinya sendiri, sebagaimana telah dikatakan
keuntungan tidak jelek. Hanya saja sikap yang timbul dari kesadaran bahwa
bisnis hanya pada satu tujuan untuk mencari keuntungan sangat berbeda dengan
alternative lainnya. Yang terjadi adalah munculnya sikap dan perilaku yang
menjurus pada menghalalkan segala cara, termasuk cara yang tidak dibenarkan
siapapun hanya demi mendapatkan keuntungan. Akibatnya pelaku bisnis tersebut
hidup dalam suatu dunia yang bahkan ia sendiri sejauh sebagai manusia tidak
diinginkannya.
Salah satu upaya untuk
membangun bisnis sebagai profesi yang luhur adalah membentuk, mendukung dan
memperkuat organisasi profesi. Melalui organisasi profesi tersebut bisnis bisa
dikembangkan sebagai sebuah profesi dalam pengertian yang sebenar-benarnya
sebagaimana dibahas, jika bukan menjadi profesi yang luhur tentu saja sangat
sulit untuk membentuk sebuah organisasi profesi yang mencakup semua bidang
bisnis.
Dalam hal ini KADIN
dapat diperdayakan untuk kepentingan tersebut. Yang lebih efektif adalah
membentuk organisasi profesi untuks setiap kelompok atau bidang bisnis :
tekstil, konstruksi, bisnis retail tambang dan sebagainya. Organisasi-organisasi
ini tidak hanya menangani kegiatan bisnis teknis dari kelompoknya melainkan
juga menjadi semacam polisi moral yang akan memberikan rekomendasi kepada
pemerintah dalam mengeluarkan izin usaha bagi para anggotanya dan tanpa
rekomendasi itu izin tersebut tidak akan diperoleh. Paling tidak organisasi ini
memberikan peringkat / ranking label kualitas yang menentukan sehat tidaknya,
etis tidaknya, perusahaan-perusahaan yang menjadi anggotanya. Peringkat ini
sangat diandalkan masyarakat dan semua pelaku bisnis lainnya sehingga membuat
para anggota merasa membutuhkannya dengan menjadi anggota yang setia dari
organisasi profesi tersebut.
Jika cara ini
dijalankan, dengan kontrol yang ketat dari organisasi profesi, akan bisa
terwujud iklim bisnis yang baik. Tentu saja hal ini pun mengandalkan bahwa
organisasi profesi itu sendiri bersih dan baik; tidak ada nepotisme,
tidak ada kolusi tidak ada diskriminasi dalam pemberian rekomendasi peringkat
atau label kualitas. Demikian pula ini pun mengandalkan pemerintah, melalui
departemen terkait, memang bersih dari praktek-praktek yang dapat merusak citra
bisnis yang baik dan etis.
Referensi :
- http://pustakamanajemen.wordpress.com/2012/04/19/prinsip-prinsip-etika-bisnis/
- http://dianavia.blogspot.com/2011/10/prinsip-prinsip-etika-bisnis.html
0 comments:
Post a Comment