Dosen Fakultas
Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, Rimawan Pradiptyo, mengatakan
Indonesia merupakan negara tercanggih dalam hal korupsi. Indonesia punya cara
korupsi yang tak dimiliki negara lainnya. Rimawan Pradiptyo juga mengatakan
bahwa Indonesia telah merugi Rp 153,1 Triliun akibat korupsi. Ia menjelaskan
nilai biaya eksplisit korupsi Rp 168,19 Triliun, tetapi nilai hukuman finansial
hanya Rp 15,09 Triliun (atau sekitar 8,97%).
Deputi Penelitian dan
Basis Data Penelitian dan Pelatihan Ekonomika Bisnis itu menjelaskan korupsi
yang terjadi di Indonesia diakibatkan oleh sistem dan lebih bersifat
struktural. Akibatnya, masyarakat pun terdorong untuk melakukan korupsi.
Rimawan mencontohkan,
dalam perekrutan pegawai negeri sipil, calon harus mengeluarkan biaya pelicin
agar diterima. Mereka rela mengeluarkan duit ratusan juta rupiah karena
nantinya akan diberi gaji tetap tanpa ada ketakutan dipecat. Hasilnya, untuk
menutup modal awal yang telah mereka keluarkan, para PNS ini pun mengolah otak
agar uang yang mereka keluarkan itu bisa kembali. Demikian pula yang terjadi di
Badan Anggaran DPR. Anggota Banggar seringkali menggunakan alasan optimalisasi
anggaran untuk menambah pengeluaran. Maksimalisasi anggaran ini dilakukan
dengan mengubah-ubah asumsi makro.
Unit Kerja Presiden
untuk Percepatan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) menilai pemberantasan
korupsi akan berjalan lebih baik jika empat legislasi dituntaskan. Sayangnya,
sepanjang 2012 lalu, Dewan Perwakilan Rakyat dan lembaga pemerintah terkait
belum berhasil menyelesaikan tunggakan legislasi tersebut.
Kepala Unit Kerja
Presiden, Kuntoro Mangkusubroto, Kamis 3 Januari 2013 mengatakan "Perbaikan
sistem untuk pemberantasan korupsi belum menggembirakan,". Lalu dia menunjuk
lima faktor yang berkontribusi pada lemahnya pemberantasan korupsi selama ini.
Kelima faktor itu adalah:
- Belum rampungnya pembahasan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
- Belum selesainya revisi UU Tindak Pidana Korupsi,
- belum dipertimbangkannya LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) dan LHA PPATK (Laporan Hasil Analisis Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan) dalam seleksi pejabat strategis di instansi penegak hukum,
- Belum digunakannya instrumen hukum perampasan aset dalam putusan perkara tindak pidana korupsi, dan
- Masih buruknya koordinasi lembaga pengawas eksternal maupun internal di berbagai lembaga pemerintah.
Unit Kerja Presiden
sebenarnya memiliki data lembaga penegak hukum mana yang rapor pemberantasan
korupsinya mengecewakan. Namun Kuntoro enggan membuka hasil evaluasi itu.
Referensi :
Nur alfiyah.2013.” Korupsi di
indonesia paling canggih“.http://www.tempo.co/read/news/2013/03/13/078466908/korupsi-di-indonesia-paling-canggih
Aryani kristanti.2013.”Kuntoro:
5 masalah hambat pemberantasan korupsi“. http://www.tempo.co/read/news/2013/01/03/063451903/kuntoro-5-masalah-hambat-pemberantasan-korupsi
0 comments:
Post a Comment