ABSTRAK
Meli Santi. Etika Bisnis. Fakultas
Manajemen. Jurusan Ekonomi. Universitas Gunadarma.2013. Penulisan yang berjudul
“ Moralitas Koruptor“ ini membahas tentang korupsi yang semakin marak dewasa ini,
mengapa bisa terjadi dan bagaimana dampaknya terhadap sebuah kegiatan bisnis
dan siapa yang harus bertanggung jawab. Makalah ini
dilatarbelakangi Korupsi bertumbuh sangat subur dan rumit sehingga siap
meruntuhkan setiap struktur masyarakat. Di beberapa negeri, apa saja
diselesaikan dengan pelicin. Suap yang diberikan kepada orang yang tepat
memungkinkan seseorang lulus ujian, mendapatkan SIM, memperoleh tender, atau
memenangkan perkara hukum.. Metode penulisan ini dengan cara mengumpulkan
berbagai informasi yang dari sumber-sumber yang terdapat di internet. Berdasarkan
pencarian penulis di internet ternyata Korupsi dewasa ini telah menjadi bisnis
yang menjanjikan. Para pelakunya merencanakannya dengan perhitungan bisnis yang
matang. Oleh karena itu, hukuman tiga atau empat tahun dianggap sebagai biaya
yang harus ditanggung demi mencapai hasil besar yang diinginkan.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ada
dua hal yang membuat korupsi terus ada: sifat mementingkan diri dan ketamakan.
Karena mementingkan diri, orang-orang yang korup tutup mata terhadap akibat
perbuatannya, yaitu penderitaan atas orang lain, dan mereka membenarkan korupsi
semata-mata karena mereka mendapat manfaat darinya. Semakin banyak keuntungan
materi yang mereka timbun, semakin tamaklah para koruptor ini.
Korupsi bertumbuh sangat subur dan rumit sehingga siap meruntuhkan
setiap struktur masyarakat. Di beberapa negeri, apa saja diselesaikan dengan
pelicin. Suap yang diberikan kepada orang yang tepat memungkinkan seseorang
lulus ujian, mendapatkan SIM, memperoleh tender, atau memenangkan perkara
hukum.
Penyuapan
khususnya merajalela di dunia perdagangan. Beberapa perusahaan mengalokasikan
sepertiga dari seluruh keuntungan mereka hanya untuk menyuap para birokrat
pemerintah yang korup. Menurut majalah Inggris The Economist,
10 persen dari 25 miliar dolar yang dibelanjakan setiap tahun pada
perdagangan senjata internasional dihabiskan untuk menyuap calon pelanggan.
Skala korupsi semakin membengkak, dan akibatnya sungguh tragis. Selama sepuluh
tahun terakhir, kapitalisme ”kroni”—praktek bisnis korup yang mementingkan
koneksi—dikabarkan telah menjatuhkan perekonomian dunia.
Tak
pelak lagi, yang paling menderita akibat korupsi dan keruntuhan ekonomi ini
adalah orang-orang miskin—orang-orang yang jarang mendapat kesempatan untuk
melakukan penyuapan. Seperti yang dengan tepat dinyatakan oleh The
Economist, ”korupsi tidak lain adalah suatu bentuk penindasan”. Dapatkah
penindasan semacam ini ditanggulangi, atau apakah korupsi memang tak
terelakkan? Untuk menjawabnya, pertama-tama kita harus mengidentifikasi
beberapa penyebab dasar korupsi.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan
masalah pada penulisan ini adalah korupsi yang semakin marak dewasa ini, mengapa bisa terjadi dan
bagaimana dampaknya terhadap sebuah kegiatan bisnis dan siapa yang harus
bertanggung jawab.
1.3 Batasan masalah
Batasan
masalah penulisan ini adalah hanya membahas moralitas koruptor.
1.4 Tujuan Penulisan
Tujuan
penulisan ini untuk mengetahui korupsi
yang semakin marak dewasa ini, mengapa bisa terjadi dan bagaimana dampaknya
terhadap sebuah kegiatan bisnis dan siapa yang harus bertanggung jawab.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Bisnis
Berikut
ini ada beberapa pengertian bisnis menurut para ahli :
- Allan afuah (2004)
Bisnis
adalah suatu kegiatan usaha individu yang terorganisasi untuk menghasilkan dana
menjual barang ataupun jasa agar mendapatkan keuntungan dalam pemenuhan
kebutuhan masyarakat dan ada di dalam industri.
- T. chwee (1990)
Bisnis
merupaka suatu sistem yang memproduksi barang dan jasa untuk memuaskan
kebutuhan masyarakat.
- Grifin dan ebert
Bisnis
adalah suatu organisasi yang mennyediakan barang atau jasa yang bertujuan untuk
mendapatkan keuntungan.
- Steinford
Bisnis
adalah suatu lembaga yang menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan
masyarakat.
- Mahmud machfoedz
Bisnis
adalah suatu usaha perdagangan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang
terorganisasi agar bisa mendapatkan laba dengan cara memproduksi dan memjual
barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat .
- Hughes dan kapoor
Business is an
organization that provides goods or services in order toearn provit
- Glos, steade dan lowry (1996)
Bisnis
merupakan sekumpulan aktifitas yang dilakukan untuk menciptakan dengan cara
mengembangkan mentransformasikan berbagai sumberdaya menjadi barang atau jasa
yang diinginkan konsumen.
- Musselman dan jackson (1992)
Bisnis
adalah jumlah seluruh kegiatan yang diorganisir orang-orang yang berkecimpung
dalam bidang perniagaan dan industry yag menyediakan barang atau jasa ontuk
mempertahankan dan mem[erbaiki standard serta kualitas hidup mereka.
- Boone dan kurtz (2002;8)
Bisnis
adalah semua aktivitas aktivitas yang bertujuan memcari laba dan perusahyaan
yag meghasilkan barag serta jasa yang dibutuhkan oleh sebuah sistem ekonomi.
- Hughes dan kapoor dalam alma (1889;21)
Bisnis
adalah suatu kegiatan individu yang terorganisasi untuk menghasilkan dan
menjual barang dan jasa guna mendapatkan keuntungan dalam memenuhi kebutuhan
masyarakat.
2.2 Pengertian Moral
Moral adalah
kaidah mengenai apa yang baik dan buruk. Sesuatu yang baik kemudian diberi
label “bermoral.” Sebaliknya, tindakan yang bertentangan dengan kebaikan lantas
dikategorikan sebagai sesuatu yang jahat, buruk, atau: “tidak bermoral.”
Semua orang sepakat bahwa manusia adalah makhluk yang istimewa, unik, dan
berbeda dengan aneka ciptaan Tuhan yang lain. Keunikan tersebut menjadi faktor
pembeda yang tegas antara manusia dan makhluk yang lain. Lalu apa yang
membedakan manusia dengan makhluk yang lain? Tentu akal budinya!
Akal budi inilah yang memampukan manusia untuk membedakan apa yang baik dan
yang buruk. Dengan demikian manusia tidak tunduk pada insting belaka. Aneka
nafsu, hasrat, dan dorongan alamiah apapun diletakkan secara harmonis di bawah
kendali budi.
Dari sini kemudian manusia
menggagas hidupnya secara lebih bermartabat dan terhormat. Manusia kemudian
punya kecenderungan alamiah untuk mengarahkan hidupnya kepada kebaikan dan
menolak keburukan. Apa saja yang baik, itulah yang dikejar dan diusahakan.
Hidup sosial, ekonomi, politik, budaya, dan lain sebagainya kemudian digagas
untuk menggapai kebaikan.
2.3 Moralitas Obyektif
Moralitas obyektif lahir dari kesadaran manusia untuk mencapai kebaikan
bersama. Moralitas obyektif adalah tata nilai yang secara obyektif ada dan
dipatuhi bersama sebagai konsekuensi dari kodrat manusia sebagai makhluk
berakal budi.
Moralitas seperti ini hadir dalam bentuk aneka peraturan, perundangan, norma,
dan nilai-nilai yang berkembang dalam tata hidup bersama. Ia bisa berwujud
aturan yang sudah diwariskan turun-temurun, tetapi bisa juga berwujud aturan
yang dengan sengaja dibuat untuk pencapaian kebaikan bersama, misalnya
undang-undang, KUHP, aneka tata-tertib, dll. Untuk mencegah korupsi misalnya,
manusia kemudian membuat undang-undang antikorupsi.
Pelanggaran terhadap moralitas obyektif ini mengakibatkan si pelanggar dikenai
sanksi dan hukum yang berlaku. Seorang koruptor, misalnya, harus dihukum jika
secara obyektif dia terbukti melakukan korupsi.
2.4 Moralitas Subyektif
Moralitas subyektif adalah tata nilai yang secara konstitutif ada di dalam hati
sanubari manusia. Karena setiap manusia berakal budi, maka setiap manusia
mempunyai dalam dirinya sendiri tata nilai yang mengantarnya kepada kebaikan,
dan ini harus ditaati.
Berbeda dengan moralitas obyektif, pelanggaran terhadap norma subyektif ini
tidak bisa dikenai hukum obyektif. Lalu instansi apa yang bisa mengawasi
moralitas subyektif semacam ini? Bukan polisi, tentara, jaksa, ataupun KPK,
melainkan hati nurani! Hati nurani inilah yang kemudian terlanggar jika
seseorang memilih untuk menyimpang kepada keburukan dengan mau-tahu-dan bebas.
Secara sekilas, agaknya moralitas subyektif ini sanksinya lebih ringan karena
hanya dirinya sendiri yang tahu. Tetapi betulkah demikian? Tidak! Justru sanksi
dari moralitas subyektif ini akan menghantuinya seumur hidup. Jika hukuman
obyektif (sanksi penjara misalnya) hanya berlaku selama beberapa tahun dan
setelah itu ia bisa melenggang bebas, tidak demikian dengan sanksi yang
dijatuhkan nurani manusia!
2.5 Korupsi
Korupsi berdasarkan
pemahaman pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah
menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Korupsi merupaka tindakan
melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri/orang lain (perseorangan atau
sebuah korporasi) , yang secara langusng maupun tidak langsung merugikan keuangan
atau prekonomian negara, yang dari segi materiil perbuatan itu dipandang
sebagai perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai keadilan masyarakat.
Faktor-faktor
penyebab terjadinya korupsi, yaitu :
- Penegakan hukum tidak konsisten, penegakan hukum hanya sebagai make up politik, sifatnya sementara, selalu berubah setiap berganti pemerintahan.
- Penyalahgunaan kekuasaan/wewenanng, takut dianggap bodoh kalau tidak menggunakan kesempatan.
- Langkanya lingkungan yang antikorup, sistem dan pedoman antikorupsi hanya dilakukan sebatas formalitas.
- Rendahnya pendapatan penyelenggara Negara. Pendapatan yang diperoleh harus mampu memenuhi kebutuhan penyelenggara Negara, mampu mendorong penyelenggara Negara untuk berprestasi dan memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat.
- Kemiskinan, keserakahan, masyarakat kurang mampu melakukan korupsi karena kesulitan ekonomi. Sedangkan mereka yang berkecukupan melakukan korupsi karena serakah, tidak pernah puas dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan.
- Budaya memberi upeti, imbalan jasa dan hadiah.
- Konsekuensi bila ditangkap lebih rendah daripada keuntungan korupsi, saat tertangkap bisa menyuap penegak hukum sehingga dibebaskan atau setidaknya diringankan hukumannya.
- Budaya permisif/serba membolehkan, tidak mau tahu, menganggap biasa bila sering terjadi. Tidak peduli orang lain, asal kepentingannya sendiri terlindungi.
- Gagalnya pendidikan agama dan etika. Pendapat Franz Magnis Suseno bahwa agama telah gagal menjadi pembendung moral bangsa dalam mencegah korupsi karena perilaku masyarakat yang memeluk agama itu sendiri. Sebenarnya agama bisa memainkan peran yang lebih besar dalam konteks kehidupan sosial dibandingkan institusi lainnya, sebab agama memiliki relasi atau hubungan emosional dengan para pemeluknya. Jika diterapkan dengan benar kekuatan relasi emosional yang dimiliki agama bisa menyadarkan umat bahwa korupsi bisa membawa dampak yang sangat buruk (Indopos.co.id, 27 September 2005)
BAB III
METODE PENULISAN
Pada
penulisan ini penuli mencari informasi yang ada dari sumber-sumber di internet
sebanyak-banyaknya mengenai moralitas koruptor agar rumusan dan tujuan
penulisan ini dapat terjawab. Data penulisan ini mengunakan data sekunder.
Dimana pengertian Data Sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan
peneliti dari berbagai sumber yang telah ada (peneliti sebagai tangan kedua).
Data sekunder dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti Biro Pusat Statistik
(BPS), buku, laporan, jurnal, dan lain-lain.
BAB IV
PEMBAHASAN
Berdasarkan rumusan
masalah pada bab 1, setelah melakukan pencarian informasi di internet ternyata Korupsi
adalah penyakit bangsa dan secara tegas pula merupakan penyakit moral! Moral
yang mana? Kedua-duanya: moralitas obyektif dan sekaligus subyektif.
Pemberantasan korupsi dengan demikian juga memasuki kedua ranah tersebut.
Korupsi bisa diberantas jika secara obyektif ia dilarang (dengan memberlakukan
hukum yang amat berat), dan secara subyektif pula diperangi (dengan mempertajam
peran budi-nurani yang dimiliki oleh setiap manusia).
Di satu sisi, penegakan moralitas obyektif adalah soal penegakan aturan main
dalam hidup bernegara, ketegasan pemerintah dalam menegakkan hukum terhadap
para koruptor, dan pembenahan sistem peradilan yang semakin adil. Di sisi lain,
penegakkan moralitas subyektif adalah soal pembenahan mentalitas aparatur
negara, pembenahan hidup kemanusiaan sebagai mahkluk yang berakal budi, dan
penajaman hati nurani.
Penekanan kepaada salah satu moralitas saja sudah cukup baik, tetapi belum
cukup. Pemberlakuan hukum yang berat terhadap para koruptor itu baik, tetapi
belum cukup. Mengapa? Karena dengan demikian orang hanya dididik untuk takut
menjadi koruptor. Ia takut melakukan korupsi hanya karena takut akan hukuman
mati, padahal yang seharusnya muncul adalah kesadaran untuk menghindarinya
karena korupsi itu tindakan yang buruk (bukan hanya soal takut)! Pendidikan
hati nurani (misalnya dilakukan dengan: mengikuti anjuran agama dan berlaku
saleh) itu juga baik, tetapi juga belum cukup! Mengapa? Karena dalam hidup
bersama tetap diperlukan hukum yang tegas bagi tercapainya kebaikan bersama.
Sebagai warga bangsa, manusia Indonesia seharusnya sadar bahwa korupsi adalah
masalah bersama yang membawa negara ini kepada keburukan dan keterpurukan.
Sudah saatnya dibuat hukum yang tegas untuk mengembalikan bangsa ini kepada
jalurnya yang benar, dan tak ketinggalan pula: pendidikan hati nurani demi
tajamnya mentalitas bernegara. Pendidikan hati nurani dalam hal ini tidak bisa
disempitkan melulu kepada beribadah dan kembali kepada agama saja (karena semua
orang Indonesia ternyata beragama, dan pada saat itu juga menjadi negara
terkorup pula!). Pendidikan hati nurani sebenarnya adalah persoalan
pengembalian manusia kepada kodratnya yang mengedepankan peran akal budi. Akal
budi inilah yang memampukan setiap manusia untuk mengarahkan diri kepada
pencapaian kebaikan. Korupsi adalah pembalikan dari kebaikan, maka dengan tegas
harus ditolak! Korupsi juga adalah pengingkaran kodrat manusia yang bermartabat,
maka dengan tegas pula harus diberantas!
BAB
V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Korupsi bertumbuh sangat subur dan rumit sehingga siap meruntuhkan
setiap struktur masyarakat. Di beberapa negeri, apa saja diselesaikan dengan
pelicin. Suap yang diberikan kepada orang yang tepat memungkinkan seseorang
lulus ujian, mendapatkan SIM, memperoleh tender, atau memenangkan perkara
hukum.
Ada
dua hal yang membuat korupsi terus ada: sifat mementingkan diri dan ketamakan.
Karena mementingkan diri, orang-orang yang korup tutup mata terhadap akibat
perbuatannya, yaitu penderitaan atas orang lain, dan mereka membenarkan korupsi
semata-mata karena mereka mendapat manfaat darinya. Semakin banyak keuntungan
materi yang mereka timbun, semakin tamaklah para koruptor ini.
Korupsi bisa
diberantas jika secara obyektif ia dilarang (dengan memberlakukan hukum yang
amat berat), dan secara subyektif pula diperangi (dengan mempertajam peran
budi-nurani yang dimiliki oleh setiap manusia).
5.2
Saran
Korupsi masih
terjadi secara masif dan sistematis. Praktiknya bisa berlangsung dimanapun, di
lembaga negara, lembaga privat, hingga di kehidupan sehari-hari. Melihat
kondisi seperti itu, maka pencegahan menjadi layak didudukkan sebagai strategi
perdananya. Melalui strategi pencegahan, diharapkan muncul langkah
berkesinambungan yang berkontribusi bagi perbaikan ke depan. Strategi ini
merupakan jawaban atas pendekatan yang lebih terfokus pada pendekatan represif.
Paradigma dengan pendekatan represif yang berkembang karena diyakini dapat
memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidana korupsi (tipikor).
DAFTAR PUSTAKA
http://agustinuswisnudewantara.wordpress.com/moral-dan-korupsi/
http://wol.jw.org/id/wol/d/r25/lp-in/2000320
http://jaringnews.com/keadilan/umum/34902/kpk-korupsi-sudah-jadi-bisnis-yang-menjanjikan
http://acch.kpk.go.id/6-strategi-pencegahan-dan-pemberantasan-korupsi
http://melisanti91.blogspot.com/2013/11/korupsi.html