Wednesday, December 25, 2013

MORALITAS KORUPTOR



ABSTRAK

Meli Santi. Etika Bisnis. Fakultas Manajemen. Jurusan Ekonomi. Universitas Gunadarma.2013. Penulisan yang berjudul “ Moralitas Koruptor“ ini membahas  tentang korupsi yang semakin marak dewasa ini, mengapa bisa terjadi dan bagaimana dampaknya terhadap sebuah kegiatan bisnis dan siapa yang harus bertanggung jawab. Makalah ini dilatarbelakangi Korupsi bertumbuh sangat subur dan rumit sehingga siap meruntuhkan setiap struktur masyarakat. Di beberapa negeri, apa saja diselesaikan dengan pelicin. Suap yang diberikan kepada orang yang tepat memungkinkan seseorang lulus ujian, mendapatkan SIM, memperoleh tender, atau memenangkan perkara hukum.. Metode penulisan ini dengan cara mengumpulkan berbagai informasi yang dari sumber-sumber yang terdapat di internet. Berdasarkan pencarian penulis di internet ternyata Korupsi dewasa ini telah menjadi bisnis yang menjanjikan. Para pelakunya merencanakannya dengan perhitungan bisnis yang matang. Oleh karena itu, hukuman tiga atau empat tahun dianggap sebagai biaya yang harus ditanggung demi mencapai hasil besar yang diinginkan.


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Ada dua hal yang membuat korupsi terus ada: sifat mementingkan diri dan ketamakan. Karena mementingkan diri, orang-orang yang korup tutup mata terhadap akibat perbuatannya, yaitu penderitaan atas orang lain, dan mereka membenarkan korupsi semata-mata karena mereka mendapat manfaat darinya. Semakin banyak keuntungan materi yang mereka timbun, semakin tamaklah para koruptor ini.
Korupsi bertumbuh sangat subur dan rumit sehingga siap meruntuhkan setiap struktur masyarakat. Di beberapa negeri, apa saja diselesaikan dengan pelicin. Suap yang diberikan kepada orang yang tepat memungkinkan seseorang lulus ujian, mendapatkan SIM, memperoleh tender, atau memenangkan perkara hukum.
Penyuapan khususnya merajalela di dunia perdagangan. Beberapa perusahaan mengalokasikan sepertiga dari seluruh keuntungan mereka hanya untuk menyuap para birokrat pemerintah yang korup. Menurut majalah Inggris The Economist, 10 persen dari 25 miliar dolar yang dibelanjakan setiap tahun pada perdagangan senjata internasional dihabiskan untuk menyuap calon pelanggan. Skala korupsi semakin membengkak, dan akibatnya sungguh tragis. Selama sepuluh tahun terakhir, kapitalisme ”kroni”—praktek bisnis korup yang mementingkan koneksi—dikabarkan telah menjatuhkan perekonomian dunia.
Tak pelak lagi, yang paling menderita akibat korupsi dan keruntuhan ekonomi ini adalah orang-orang miskin—orang-orang yang jarang mendapat kesempatan untuk melakukan penyuapan. Seperti yang dengan tepat dinyatakan oleh The Economist, ”korupsi tidak lain adalah suatu bentuk penindasan”. Dapatkah penindasan semacam ini ditanggulangi, atau apakah korupsi memang tak terelakkan? Untuk menjawabnya, pertama-tama kita harus mengidentifikasi beberapa penyebab dasar korupsi.

1.2  Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penulisan ini adalah korupsi yang semakin marak dewasa ini, mengapa bisa terjadi dan bagaimana dampaknya terhadap sebuah kegiatan bisnis dan siapa yang harus bertanggung jawab.

1.3  Batasan masalah
Batasan masalah penulisan ini adalah hanya membahas moralitas koruptor.

1.4  Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini untuk mengetahui korupsi yang semakin marak dewasa ini, mengapa bisa terjadi dan bagaimana dampaknya terhadap sebuah kegiatan bisnis dan siapa yang harus bertanggung jawab.

  
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Bisnis
Berikut ini ada beberapa pengertian bisnis menurut para ahli :

  • Allan afuah (2004)

Bisnis adalah suatu kegiatan usaha individu yang terorganisasi untuk menghasilkan dana menjual barang ataupun jasa agar mendapatkan keuntungan dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat dan ada di dalam industri.

  •  T. chwee (1990)

Bisnis merupaka suatu sistem yang memproduksi barang dan jasa untuk memuaskan kebutuhan masyarakat.

  • Grifin dan ebert

Bisnis adalah suatu organisasi yang mennyediakan barang atau jasa yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan.

  • Steinford

Bisnis adalah suatu lembaga yang menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat.

  • Mahmud machfoedz

Bisnis adalah suatu usaha perdagangan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang terorganisasi agar bisa mendapatkan laba dengan cara memproduksi dan memjual barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat .

  • Hughes dan kapoor

Business is an organization that provides goods or services in order toearn provit

  • Glos, steade dan lowry (1996)

Bisnis merupakan sekumpulan aktifitas yang dilakukan untuk menciptakan dengan cara mengembangkan mentransformasikan berbagai sumberdaya menjadi barang atau jasa yang diinginkan konsumen.

  • Musselman dan jackson (1992)

Bisnis adalah jumlah seluruh kegiatan yang diorganisir orang-orang yang berkecimpung dalam bidang perniagaan dan industry yag menyediakan barang atau jasa ontuk mempertahankan dan mem[erbaiki standard serta kualitas hidup mereka.

  •   Boone dan kurtz (2002;8)

Bisnis adalah semua aktivitas aktivitas yang bertujuan memcari laba dan perusahyaan yag meghasilkan barag serta jasa yang dibutuhkan oleh sebuah sistem ekonomi.

  • Hughes dan kapoor dalam alma (1889;21)

Bisnis adalah suatu kegiatan individu yang terorganisasi untuk menghasilkan dan menjual barang dan jasa guna mendapatkan keuntungan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat.

2.2 Pengertian Moral
Moral adalah kaidah mengenai apa yang baik dan buruk. Sesuatu yang baik kemudian diberi label “bermoral.” Sebaliknya, tindakan yang bertentangan dengan kebaikan lantas dikategorikan sebagai sesuatu yang jahat, buruk, atau: “tidak bermoral.”
            Semua orang sepakat bahwa manusia adalah makhluk yang istimewa, unik, dan berbeda dengan aneka ciptaan Tuhan yang lain. Keunikan tersebut menjadi faktor pembeda yang tegas antara manusia dan makhluk yang lain. Lalu apa yang membedakan manusia dengan makhluk yang lain? Tentu akal budinya!
            Akal budi inilah yang memampukan manusia untuk membedakan apa yang baik dan yang buruk. Dengan demikian manusia tidak tunduk pada insting belaka. Aneka nafsu, hasrat, dan dorongan alamiah apapun diletakkan secara harmonis di bawah kendali budi.
Dari sini kemudian manusia menggagas hidupnya secara lebih bermartabat dan terhormat. Manusia kemudian punya kecenderungan alamiah untuk mengarahkan hidupnya kepada kebaikan dan menolak keburukan. Apa saja yang baik, itulah yang dikejar dan diusahakan. Hidup sosial, ekonomi, politik, budaya, dan lain sebagainya kemudian digagas untuk menggapai kebaikan.

 2.3 Moralitas Obyektif
            Moralitas obyektif lahir dari kesadaran manusia untuk mencapai  kebaikan bersama. Moralitas obyektif adalah tata nilai yang secara obyektif ada dan dipatuhi bersama sebagai konsekuensi dari kodrat manusia sebagai makhluk berakal budi.
            Moralitas seperti ini hadir dalam bentuk aneka peraturan, perundangan, norma, dan nilai-nilai yang berkembang dalam tata hidup bersama. Ia bisa berwujud aturan yang sudah diwariskan turun-temurun, tetapi bisa juga berwujud aturan yang dengan sengaja dibuat untuk pencapaian kebaikan bersama, misalnya undang-undang, KUHP, aneka tata-tertib, dll. Untuk mencegah korupsi misalnya, manusia kemudian membuat undang-undang antikorupsi.
            Pelanggaran terhadap moralitas obyektif ini mengakibatkan si pelanggar dikenai sanksi dan hukum yang berlaku. Seorang koruptor, misalnya, harus dihukum jika secara obyektif dia terbukti melakukan korupsi.

2.4 Moralitas Subyektif
            Moralitas subyektif adalah tata nilai yang secara konstitutif ada di dalam hati sanubari manusia. Karena setiap manusia berakal budi, maka setiap manusia mempunyai dalam dirinya sendiri tata nilai yang mengantarnya kepada kebaikan, dan ini harus ditaati.
            Berbeda dengan moralitas obyektif, pelanggaran terhadap norma subyektif ini tidak bisa dikenai hukum obyektif. Lalu instansi apa yang bisa mengawasi moralitas subyektif semacam ini? Bukan polisi, tentara, jaksa, ataupun KPK, melainkan hati nurani! Hati nurani inilah yang kemudian terlanggar jika seseorang memilih untuk menyimpang kepada keburukan dengan mau-tahu-dan bebas.
            Secara sekilas, agaknya moralitas subyektif ini sanksinya lebih ringan karena hanya dirinya sendiri yang tahu. Tetapi betulkah demikian? Tidak! Justru sanksi dari moralitas subyektif ini akan menghantuinya seumur hidup. Jika hukuman obyektif (sanksi penjara misalnya) hanya berlaku selama beberapa tahun dan setelah itu ia bisa melenggang bebas, tidak demikian dengan sanksi yang dijatuhkan nurani manusia!
 
2.5 Korupsi
Korupsi berdasarkan pemahaman pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Korupsi merupaka tindakan melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri/orang lain (perseorangan atau sebuah korporasi) , yang secara langusng maupun tidak langsung merugikan keuangan atau prekonomian negara, yang dari segi materiil perbuatan itu dipandang sebagai perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai keadilan masyarakat.

Faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi, yaitu :
  1. Penegakan hukum tidak konsisten, penegakan hukum hanya sebagai make up politik, sifatnya sementara, selalu berubah setiap berganti pemerintahan.
  2. Penyalahgunaan kekuasaan/wewenanng, takut dianggap bodoh kalau tidak menggunakan kesempatan.
  3. Langkanya lingkungan yang antikorup, sistem dan pedoman antikorupsi hanya dilakukan sebatas formalitas.
  4. Rendahnya  pendapatan penyelenggara Negara.  Pendapatan yang diperoleh harus mampu memenuhi kebutuhan penyelenggara Negara, mampu mendorong penyelenggara Negara untuk berprestasi dan memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat.
  5. Kemiskinan, keserakahan, masyarakat kurang mampu melakukan korupsi karena kesulitan ekonomi.  Sedangkan mereka yang berkecukupan melakukan korupsi karena serakah, tidak pernah puas dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan.
  6. Budaya memberi upeti, imbalan jasa dan hadiah.
  7. Konsekuensi bila ditangkap lebih rendah daripada keuntungan korupsi, saat tertangkap bisa menyuap penegak hukum sehingga dibebaskan atau setidaknya diringankan hukumannya.
  8. Budaya permisif/serba membolehkan, tidak mau tahu, menganggap biasa bila sering terjadi.  Tidak peduli orang lain, asal kepentingannya sendiri terlindungi.
  9. Gagalnya pendidikan agama dan etika.  Pendapat Franz Magnis Suseno bahwa agama telah gagal menjadi pembendung moral bangsa dalam mencegah korupsi karena perilaku masyarakat yang memeluk agama itu sendiri.  Sebenarnya agama bisa memainkan peran yang lebih besar dalam konteks kehidupan sosial dibandingkan institusi lainnya, sebab agama memiliki relasi atau hubungan emosional dengan para pemeluknya.  Jika diterapkan dengan benar kekuatan relasi emosional yang dimiliki agama bisa menyadarkan umat bahwa korupsi bisa membawa dampak yang sangat buruk (Indopos.co.id, 27 September 2005)
  
BAB III
METODE PENULISAN

Pada penulisan ini penuli mencari informasi yang ada dari sumber-sumber di internet sebanyak-banyaknya mengenai moralitas koruptor agar rumusan dan tujuan penulisan ini dapat terjawab. Data penulisan ini mengunakan data sekunder. Dimana pengertian Data Sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan peneliti dari berbagai sumber yang telah ada (peneliti sebagai tangan kedua). Data sekunder dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti Biro Pusat Statistik (BPS), buku, laporan, jurnal, dan lain-lain.


BAB IV
PEMBAHASAN
Berdasarkan rumusan masalah pada bab 1, setelah melakukan pencarian informasi di internet ternyata Korupsi adalah penyakit bangsa dan secara tegas pula merupakan penyakit moral! Moral yang mana? Kedua-duanya: moralitas obyektif dan sekaligus subyektif. Pemberantasan korupsi dengan demikian juga memasuki kedua ranah tersebut. Korupsi bisa diberantas jika secara obyektif ia dilarang (dengan memberlakukan hukum yang amat berat), dan secara subyektif pula diperangi (dengan mempertajam peran budi-nurani yang dimiliki oleh setiap manusia).
            Di satu sisi, penegakan moralitas obyektif adalah soal penegakan aturan main dalam hidup bernegara, ketegasan pemerintah dalam menegakkan hukum terhadap para koruptor, dan pembenahan sistem peradilan yang semakin adil. Di sisi lain, penegakkan moralitas subyektif adalah soal pembenahan mentalitas aparatur negara, pembenahan hidup kemanusiaan sebagai mahkluk yang berakal budi, dan penajaman hati nurani.
            Penekanan kepaada salah satu moralitas saja sudah cukup baik, tetapi belum cukup. Pemberlakuan hukum yang berat terhadap para koruptor itu baik, tetapi belum cukup. Mengapa? Karena dengan demikian orang hanya dididik untuk takut menjadi koruptor. Ia takut melakukan korupsi hanya karena takut akan hukuman mati, padahal yang seharusnya muncul adalah kesadaran untuk menghindarinya karena korupsi itu tindakan yang buruk (bukan hanya soal takut)! Pendidikan hati nurani (misalnya dilakukan dengan: mengikuti anjuran agama dan berlaku saleh) itu juga baik, tetapi juga belum cukup! Mengapa? Karena dalam hidup bersama tetap diperlukan hukum yang tegas bagi tercapainya kebaikan bersama.
            Sebagai warga bangsa, manusia Indonesia seharusnya sadar bahwa korupsi adalah masalah bersama yang membawa negara ini kepada keburukan dan keterpurukan. Sudah saatnya dibuat hukum yang tegas untuk mengembalikan bangsa ini kepada jalurnya yang benar, dan tak ketinggalan pula: pendidikan hati nurani demi tajamnya mentalitas bernegara. Pendidikan hati nurani dalam hal ini tidak bisa disempitkan melulu kepada beribadah dan kembali kepada agama saja (karena semua orang Indonesia ternyata beragama, dan pada saat itu juga menjadi negara terkorup pula!). Pendidikan hati nurani sebenarnya adalah persoalan pengembalian manusia kepada kodratnya yang mengedepankan peran akal budi. Akal budi inilah yang memampukan setiap manusia untuk mengarahkan diri kepada pencapaian kebaikan. Korupsi adalah pembalikan dari kebaikan, maka dengan tegas harus ditolak! Korupsi juga adalah pengingkaran kodrat manusia yang bermartabat, maka dengan tegas pula harus diberantas!


BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Korupsi bertumbuh sangat subur dan rumit sehingga siap meruntuhkan setiap struktur masyarakat. Di beberapa negeri, apa saja diselesaikan dengan pelicin. Suap yang diberikan kepada orang yang tepat memungkinkan seseorang lulus ujian, mendapatkan SIM, memperoleh tender, atau memenangkan perkara hukum.
Ada dua hal yang membuat korupsi terus ada: sifat mementingkan diri dan ketamakan. Karena mementingkan diri, orang-orang yang korup tutup mata terhadap akibat perbuatannya, yaitu penderitaan atas orang lain, dan mereka membenarkan korupsi semata-mata karena mereka mendapat manfaat darinya. Semakin banyak keuntungan materi yang mereka timbun, semakin tamaklah para koruptor ini.
Korupsi bisa diberantas jika secara obyektif ia dilarang (dengan memberlakukan hukum yang amat berat), dan secara subyektif pula diperangi (dengan mempertajam peran budi-nurani yang dimiliki oleh setiap manusia).
5.2 Saran
Korupsi masih terjadi secara masif dan sistematis. Praktiknya bisa berlangsung dimanapun, di lembaga negara, lembaga privat, hingga di kehidupan sehari-hari. Melihat kondisi seperti itu, maka pencegahan menjadi layak didudukkan sebagai strategi perdananya. Melalui strategi pencegahan, diharapkan muncul langkah berkesinambungan yang berkontribusi bagi perbaikan ke depan. Strategi ini merupakan jawaban atas pendekatan yang lebih terfokus pada pendekatan represif. Paradigma dengan pendekatan represif yang berkembang karena diyakini dapat memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidana korupsi (tipikor).


DAFTAR PUSTAKA


http://agustinuswisnudewantara.wordpress.com/moral-dan-korupsi/

http://wol.jw.org/id/wol/d/r25/lp-in/2000320

http://jaringnews.com/keadilan/umum/34902/kpk-korupsi-sudah-jadi-bisnis-yang-menjanjikan

http://acch.kpk.go.id/6-strategi-pencegahan-dan-pemberantasan-korupsi

http://melisanti91.blogspot.com/2013/11/korupsi.html